Beberapa minggu lalu saya mendengar cerita dari seorang kerabat mengenai perilaku dan cara berbahasa, sebut saja, keponakannya (A). Keponakan dari kerabat saya itu baru kelas dua sekolah dasar. Dia bercerita mengenai kekecewaan yang dialami oleh A. Ia (A) mendapatkan hasil/nilai yang kurang memuaskan dalam ulangan harian pelajaran Bahasa Daerah (Sunda). Hal ini terjadi karena adanya banyak kesalahan ketika mengerjakan soal-soal ulangan harian tersebut, yang padahal menurut si A jawabannya itu benar. Lantas, si A menyalahkan sang 'mamah' karena malam sebelum ulangan harian itu dia belajar didampingi oleh mamah-nya.
Setelah mendengar cerita yang lebih jelas mengenai hal tersebut, akhirnya diketahui bahwa ada beberapa kesalahan dalam pengisian kata yang sesuai dengan kaidah Basa Sunda yang baik. Sebagai contoh, kata 'kening/jidat' yang dalam bahasa Sunda berarti taar/tarang, dalam soal ulangan harian, A jawab dengan taher - tarang herang. Mengapa menjawab demikian? Hal ini bermula ketika A belajar dengan mamah-nya. Ketika A bertanya mengenai hal tersebut, mamahnya menjawab " ...nya, ai jidat mah basa Sundana taher weh". Karena masih anak-anak dan menganggap mamah-nya lebih tahu, A mungkin mengikuti dan membenarkan apa yang disebutkan oleh mamah-nya tadi sehingga ia menjawab soal ulangan yang menanyakan arti dari kata 'jidat/kening' dalam bahasa sunda standar dengan taher.
Selain itu, pernah suatu ketika A ditanya oleh gurunya mengenai cara orang tua ketika menasehati dan memarahinya. Lalu dengan polosnya A menirukannya di depan kelas, kurang lebih seperti ini ".... sia mah dasar gob*** dibere nyaho nu bener teh teu ngarti-ngarti, nu dilobakeun teh ulin jeung ulin bae. Ble*** sia mah". Mendengar dan menyaksikan apa yang A lakukan, gurunya, dalam hal ini wali kelasnya, segera menemui orang tua A dan memberitahukan untuk tidak menasehati dan memarahi anak dengan cara seperti itu karena hal tersebut dapat memberikan dampak yang buruk untuk prilaku, perkembangan, dan cara berbahasanya.
Menurut saya, A sebenarnya tidak salah, karena kata taher tersebut
memang ada dalam bahasa sunda yang digunakan oleh lingkungan sekitar A.
A itu masih anak-anak - cenderung polos dan gampang meniru apa yang dia dengar, lihat, dan rasakan di lingkungannya. Namun, yang menjadi permasalahan ialah cara pengajaran dan pembiasaan
berbahasa dari orang tua A yang menurut saya kurang cocok. Di sekolah,
umumnya, anak diarahkan untuk menggunakan bahasa yang formal dan standar
apa pun itu: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, atau Bahasa
Daerah. Oleh karena itu, orang tua harus mengetahui bahwa anak-anak itu belajar dari hal-hal kecil, yang mungkin orang tua tidak sadari, yang ada disekelilingnya seperti; cara berbahasa, bersikap dan berprilaku, berinteraksi dengan orang tua, dan sebagainya.
Menurut referensi yang saya baca mengenai penerimaan bahasa pada anak, sebenarnya dari semenjak usia bayi, kurang lebih 3-5 bulan, mereka sudah bisa membedakan suara-suara yang dihasilkan oleh orang-orang disekitarnya. Kemudian hal ini akan berkembang dengan adanya produksi kata-kata sederhana pada usia 1 tahun. Pada usia ini pula, mereka sudah bisa memberikan reaksi terhadap apa yang orang tuanya katakan, seperti "ayo minum susu" maka si anak tersebut megarahkan tangannya pada botol susu. Ketika memasuki usia 2-3 tahun, si anak sudah bisa menerima beberapa struktur linguistik yang lebih rumit, contohnya, mereka sudah mulai mampu merangkaikan beberapa kata menjadi kalimat yang dapat dimengerti oleh orang dewasa. Dan pada usia pra sekolah (4 tahun), mereka sudah bisa menggunakan bahasa untuk berbagai situasi. Ketika memasuki usia sekolah, anak-anak sudah tahu bagaimana cara menggunakan bahasa ketika berbicara dengan orang yang lebih tua atau lebih dihormati. Disamping itu, mereka juga memiliki banyak kosa kata karena dihadapkan pada adanya kegiatan membaca yang diberikan oleh sekolah dan sudah mulai bisa membedakan ragam bahasa tulis dan lisan. Pada usia sekolah inilah, anak-anak mulai dikenalkan dengan berbagai bahasa standar, seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Asing, dan Bahasa Daerah. (Littlewood, 2006)
Mungkin banyak orang tua atau orang dewasa yang belum mengerti bahwa anak belajar bahasa mulai dari usia bayi. Untuk itulah, sebagai orang tua atau orang yang lebih mengerti, kita hendaknya bisa memberikan sebuah pembelajaran bahasa yang baik kepada anak yaitu dengan cara membiasakan diri dengan menggunakan ragam bahasa yang standar dan baik, apa pun itu bahasanya. Karena anak-anak, saya tegaskan, meresap pengetahuan dari sesuatu yang nyata; apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar dan apa yang mereka rasakan. Jika kita menggunakan bahasa yang, sebut saja, cenderung kasar, jangan salahkan apabila mereka juga menggunakan bahasa yang kasar pula. Karena ada pepatah mengatakan "buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya". Di samping itu semua, menurut saya lingkungan di mana anak itu tinggal juga berpengaruh terhadap cara berbahasanya. Jadi, ya tanamkan hal-hal baik untuk anak atau pun saudara kecil kita supaya mereka kelak bisa menjadi baik di kemudian hari.
Jika kita menanamkan sesuatu pada orang dewasa mungkin akan cepat dilupakan, namun jika kita menanamkan sesuatu kepada anak-anak, butuh waktu yang lama untuk melupakannya (Damayanti, 2012).
No comments:
Post a Comment