Apr 11, 2014

Tujuh Ratus Sembian Puluh Tujuh Kata Buatnya



28 Maret 2014
Malam ini terduduk diantara basah dedaun sisa gerimis sore tadi. Sepi setia temani diri dalam alunan sendu lagu sembari menyelami dalamnya kenangan tentang aku dan dirinya. Dalam alunan sendu itu, aku semakin jauh menelusuk masuk ke dalam memori tentang kita. Semua tentang kita kini hanya sebatas memori. Ya, hanya sebatas memori yang usang, tak bermakna lagi. 

Semakin larut, semakin dalam pula aku tenggelam pada lautan kenangan yang begitu dalam itu. Ya, pada masa-masa yang pernah kita lalui bersama selama enam tahun itu. Tak terasa memang, setiap detik yang terlewati bersama begitu berarti, dan akan terus berarti, setidaknya buat ku. Setiap tawa dan tangis yang ada dan tercipta ketika kita bersama, dulu, akan selalu tersimpan rapi di tempatnya. Ya, memang akan selalu ada pada satu tempat di dalam relung hati ini. Indah, memang indah saat-saat yang pernah kita lalui bersama. Namun, semuanya kini tinggal kenangan; usang, tak bermakna.

Tak dapat ku mengerti apa sebenarnya yang tengah ku rasa. Pada saat mudah baginya untuk melupakan, mengubur, dan melepas semuanya, aku malah sebaliknya. Sulit, bahkan teramat sulit bagiku menghapus semua bayang dan kenangan yang ada. Berbagai cara telah aku lakukan untuk dapat menghapus semuanya; nyatanya sia-sia belaka. Semakin kuat mencoba melepas, semakin nyata pula bayang dan kenangan itu ada.

29 Maret 2014
Hari yang sama, dilewati dengan cara yang sama pula: duduk termenung melepas waktu dengan tatapan kosong. Begitu kehidupan yang ku jalani beberapa waktu ini. Ya, setelah kehilangannya dengan alasan yang tak pernah ku sangka – mencari kebahagiaan dan tempat lain setelah masa sulit yang dilalui bersama. 

Aku seperti ini karena aku bukanlah tipikal seorang pencari yang selalu ingin berlari mencari sesuatu yang diinginkan. Aku adalah seorang yang “hanya memandang ke satu arah dan diam di situ dalam jangka waktu yang lama” (meminjam istilah dari film “5 cm”) begitupun halnya dengan kebahagiaan. Ketika sudah aku rasakan kebahagiaan dan kenyamanan itu, meski dalam rasa sakit yang teramat sakit pun, aku enggan beranjak darinya. Kebahagiaan buatku bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan atau digantikan oleh sesuatu yang baru ketika rasa jenuh dan tak nyaman melanda. Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita terima dan syukuri terlepas dari segala keadaan yang tengah dihadapi. Ya, menerimanya meski dalam keadaan sakit yang begitu sakit.

Entah, akan seperti apa aku melaluinya. Pasti akan begitu sakit, teramat sakit bahkan untuk dapat melangkah satu langkah ke depan. Ya, apa boleh buat. Ku kira kita masih merasakan hal yang sama. Namun, nyatanya tidak. Aku yang merasakan sakit; dia yang dapat senang dengan kebahagiaan dan tempat barunya. 

30 Maret 2014
Tak pernah ku rasakan sakit yang sesakit ini. Sulit untuk melepas bayang dan kenangan yang selama ini ada dan tercipta. Setiap langkah yang ku buat untuk melupakan segalanya hanya berakhir pada sakit yang begitu perih. Entah, apa dia juga merasakan hal yang sama? Ku rasa tidak. Pada setiap kata yang terucap darinya, ku tafsir dia sudah dapat dengan begitu mudahnya melepas dan melupakan semuanya. Tak apa, yang penting sudah aku berikan semua ketulusan yang memang seharusnya aku berikan, meski pada akhirnya itu jugalah yang tengah membunuhku secara perlahan.

1 April 2014
Kebahagiaan bersamanya kini hanyalah berupa puing-puing kenangan bisu dan setumpuk foto-foto usang yang sudah tak mampu bercerita lagi. Merindukannya sekarang hanyalah berupa angan kosong yang tak akan pernah menjadi nyata. Setiap detik yang terlewati ketika telah tidak bersamanya menjadi saksi untuk rasa sakit yang teramat ini. Raga ku masih bisa disebut sehat – mampu berdiri tegak, berjalan, berlari, atau bahkan melompat. Tapi tidak dengan batinku. Jauh di dalam hati ini, aku menangis, sebenarnya, merasakan sakit yang entah harus dengan apa mengobatinya. Sering aku bertanya “Apakah ini karena ketulusan yang benar-benar aku berikan padanya? Apakah ini sebuah balasan terhadap ketulusan yang telah aku berikan sepenuhnya?”

Memang aku mencintai dan menyayanginya sepenuh hati; jauh dari lubuk hati terdalam telah ku serahkan semua padanya. Namun, tak selamanya rasa yang aku berikan ditanggapi dengan cara yang sama pula. Buktinya, ya seperti inilah. Rasa sayang dan cinta yang sepenuh hati diberikan pada akhirnya disalahartikan. Padahal, bukan tanpa alasan yang jelas aku bertindak dan bertutur. Tapi, ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, begitu kata pepatah lama. Makan saja, toh semangkuk bubur pun masih bernutrisi meski tak sebanyak nutrisi yang ada dalam sepiring nasi. 

Jauh dari dalam hati ini aku bertanya “Apakah masih ada aku di dalam hatinya seperti apa yang selalu aku rasakan? Apakah dia sudah benar-benar mengubur apa yang selama ini kita impikan?” Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau jawabnya. Aku hanya tak ingin larut dalam harap yang tak bersambut. Jiwaku sakit, batinku tersiksa, namun apa daya jika memang harap itu sudah tak bersambut. Mungkin, aku memang sudah benar-benar tergantikan oleh sesuatu yang baru yang jauh lebih mampu membahagiakannya. Namun, tetap aku berharap pada petunjuk-Nya yang pada akhirnya benar-benar dapat membuatku sadar akan arti semua ini.

Oct 18, 2013

Kepada-Nya

Tuhan, jika Engkau berkenan, izinkan aku untuk kembali merasakan bahagia itu. Izinkan untuk kembali mersakan indahnya seperti kala itu. Beri aku kesempatan untuk bisa mendapatkannya, sebelum pada akhirnya Kau ambil semua itu selamanya.

Kebahagiaan yang sederhana --- aku dan dia. Seperti sedia kala, kami merajut kasih yang seharusnya --- kasih yang suci itu.

Tuhan, apakah masih bisa aku dapatkan kebahagiaan itu? Aku hanya seorang insan yang tak miliki kuasa untuk merubah kehendak-Mu. Aku berserah pada-Mu. Hanya itu yang bisa seorang makhluk lakukan --- berserah dan berharap pada Khaliknya.

Tuhan, jika esok masih kau beri nikmat menghirup nafas, izinkan aku hanya untuk bisa merasa bahagia itu. Hanya itu harapku saat ini. Aku ingin kembali pada masa-masa itu, ketika bahagia senantiasa menaungi kami.

Tuhan, jika memang aku sudah tidak berhak atas bahagia itu, ambil semua yang tersisa. Ambilah, jangan yang ada yang tertinggal. Sekuat mungkin aku akan menerimanya. Itu kehendak-Mu.

Tuhan, aku hanya ingin merasakan kembali bahagia itu. Kebahagiaan saat kami menyelami dalam kehidupan dengan saling menutupi semua kekurangan yang ada. Kebahagiaan yang sederhana --- aku dan dia. Izinkan aku untuk merasakan kembali, meski hanya sekejap, sebelum pada akhirnya Kau menutup mata ini pun segala kenangan yang ada antara aku dan dia.

Aug 24, 2013

Gamang

Beberapa hari ini, meski sekilas sama, tapi terasa begitu berbeda, jauh berbeda seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu. Entah apa yang terjadi. Kesibukan menulis laporan penelitian (baca: skripsi) aku lakukan seperti biasanya, namun tidak ada gairah dalam menuangkan ide dalam rentetean kata pada monitor, pun dengan nas tulisan yang ku buat. Entah apa yang terjadi. Nyawaku seakan hilang. Untuk sekedar membaca buku, jurnal, dan karya ilmiah yang menggoda dan menggairahkan itu saja, diri tak bernafsu; apalagi untuk menulis. Entah apa yang terjadi. Dalam benak ku berkecamuk dia, keluarga, dan tumpukan-tumpukan bacaan yang harus segera diselesaikan. Padahal tenggang waktu sudah semakin dekat di hadapan pelupuk mata. Entah apa yang terjadi.

Aku hanya ingin kembali sediakala, seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu, di mana hasrat, inspirasi, dan ide menari, bergolak, menggerayangi diri, meningkatkan gairah bergelut dengan kata. Namun, tampaknya itu sulit untuk terulang lagi. Aku butuh ketenangan; namun di mana? Yang aku tahu ketenangan hakiki hanya ada di tempat-Nya. Haruskah aku ke tempat-Nya guna meraih ketenangan itu?

Dua-per-tiga malam telah lama aku tinggalkan. Padahal dulu di waktu tersebut aku bisa sedikit merasakan ketenangan untuk melampiaskan hasrat menulis ku. Sekarang, sulit tampaknya untuk terulang lagi. Semuanya berubah sejak dua purnama lalu. Entah harus bagaimana. Jiwa ini seakan hilang arah, lebih parah lagi, hilang jiwa.

Duduk dalam pandangan kosong menjadi sebuah keseharian, akhir-akhir ini. Apakah ini tanda agar aku kembali ke tempat-Nya? Padahal masih banyak impian dan tujuan yang harus direalisasikan. Apakah semuanya bisa terwujud dalam keadaan seperti ini? Seratus persen, bahkan seribu persen aku yakin tidak akan terwujud jika terus seperti ini.

Aku hanya ingin jiwaku kembali seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu.

Dalam ketiadaan,

23 Agustus 2013 21.00 

Jul 3, 2013

Hilang

Di antara gelap dan sunyi-sunyi ini
Ku rebahkan diri dalam relung ketidakpastian
Sunyi terus mengisi membisiki diri
tentang sebuah angan yang berserakan tak karuan

Aku hilang jiwa
Aku hilang arah
Aku hilang kamu
Aku hilang Dia

Ke mana melangkah, aku tak tahu
Ke mana mengadu, apa Dia mau tahu
Ke mana bersandar, hanya ada ruang-ruang semu yang tak tentu

Jiwa berteman sunyi yang kian merasuk, berjejalan tak karuan
Bak tiada ruh yang isi raga ini
Untuk meratap, menangis pun hati enggan
Itulah diri saat ini terjejal sunyi

Aku butuh tangis, tapi batin tak bersambut.

May 1, 2013

Mempertanyakan Perjalanan

Esensi yang ada dalam sebuah perjalanan ini tidak sesingkat seperti yang banyak orang katakan --- menghela napas, melakukan metabolisme rutin, dan berlarian mencari kepingan rupiah yang kelak ditimbun menjadi indikator sebuah kesuksesan perjalanan. Bukan, bukan timbunan kepingan rupiah yang jadi satu-satunya indikator kesuksesan sebuah perjalanan ini. Tapi, nyatanya, itulah yang banyak orang inginkan, dan memang benar kepingan itu pula yang mampu membuat perjalanan ini menjadi mulus. Tak ayal, kemanapun melangkah, kepingan itu menjadi sorotan utama setiap pelaku perjalanan. Lalu apakah dengan kepingan itu pula kita mendapatkan sebuah 'tanda penting' di mata para pelaku perjalanan lainnya? Sebegitu hebatkah?

Mungkin, sebagian mereka lupa esensi perjalanan yang tengah dijalaninya. Selain hanya menimbun kepingan tersebut, perjalanan kita haruslah memiliki nilai guna bagi pelaku perjalanan lainnya yang mungkin tidak bisa ditukar dengan kepingan yang kita miliki. Memiliki nilai guna, contonya, bukan hanya memberikan kepingan kita untuk kepentingan komunitas atau kelompok pelaku perjalanan saja tanpa melakukan tindakan nyata di dalamnya. Sama saja bohong jika hanya menyumbang keping-demi-keping berapapun banyaknya, karena kepingan tidak dapat menggantikan tindakan nyata yang kita lakukan. Sulit mungkin untuk merealisasikannya, tapi dengan adanya kesadaran dan kemauan dari dalam diri, hal sesulit apapun pasti bisa dilakukan. Berpartisipasi aktif dalam konstruksi kebaikan pastinya memiliki banyak dampak positif bagi kelangsungan perjalanan kita. Di samping membangun solidaritas dan hubungan sosial yang harmonis, dan mempertegas arti dari sebuah perjalanan, sisi religius kita - salah satu aspek penting dalam perjalanan - juga akan bertambah baik. Bukankah Ia menjadikan kita untuk bisa berguna dalam segi kebaikan? Dari sinilah, mungkin, perjalanan paripurna kepada-Nya akan bisa kita rasakan. 

Jika semua pelaku perjalanan bersaing untuk menimbun banyak kepingan saja, apakah itu bisa disebut paripurna? Nyatanya, persaingan menimbun itulah yang menjadikan banyak perpecahan diantara pelaku perjalanan, bahkan banyak yang melegalkan segala cara, sampai yang paling ekstrim sekalipun, guna memenangi persaingan tersebut, bukan begitu? Jika seperti ini, sama saja mereka dengan predator-predator di alam liar sana (instingnya). Bukankah kita adalah utusan yang harus membuat tempat di mana kita berjalan ini damai, tentram, dan indah? Bukankah Ia juga telah meyakinkan malaikat-malaikat-Nya ketika mereka meragukan fungsi kita diciptakan di sini? Jadi untuk apa kita dibekali akal budi jika insting kita tetap seperti predator alam liar?


Ratings and Recommendations by outbrain