28 Maret 2014
Malam ini terduduk
diantara basah dedaun sisa gerimis sore tadi. Sepi setia temani diri dalam
alunan sendu lagu sembari menyelami dalamnya kenangan tentang aku dan dirinya.
Dalam alunan sendu itu, aku semakin jauh menelusuk masuk ke dalam memori
tentang kita. Semua tentang kita kini hanya sebatas memori. Ya, hanya sebatas
memori yang usang, tak bermakna lagi.
Semakin larut, semakin
dalam pula aku tenggelam pada lautan kenangan yang begitu dalam itu. Ya, pada
masa-masa yang pernah kita lalui bersama selama enam tahun itu. Tak terasa
memang, setiap detik yang terlewati bersama begitu berarti, dan akan terus
berarti, setidaknya buat ku. Setiap tawa dan tangis yang ada dan tercipta
ketika kita bersama, dulu, akan selalu tersimpan rapi di tempatnya. Ya, memang
akan selalu ada pada satu tempat di dalam relung hati ini. Indah, memang indah
saat-saat yang pernah kita lalui bersama. Namun, semuanya kini tinggal
kenangan; usang, tak bermakna.
Tak dapat ku mengerti
apa sebenarnya yang tengah ku rasa. Pada saat mudah baginya untuk melupakan,
mengubur, dan melepas semuanya, aku malah sebaliknya. Sulit, bahkan teramat
sulit bagiku menghapus semua bayang dan kenangan yang ada. Berbagai cara telah
aku lakukan untuk dapat menghapus semuanya; nyatanya sia-sia belaka. Semakin
kuat mencoba melepas, semakin nyata pula bayang dan kenangan itu ada.
29 Maret 2014
Hari yang sama,
dilewati dengan cara yang sama pula: duduk termenung melepas waktu dengan
tatapan kosong. Begitu kehidupan yang ku jalani beberapa waktu ini. Ya, setelah
kehilangannya dengan alasan yang tak pernah ku sangka – mencari kebahagiaan dan
tempat lain setelah masa sulit yang dilalui bersama.
Aku seperti ini karena
aku bukanlah tipikal seorang pencari yang selalu ingin berlari mencari sesuatu
yang diinginkan. Aku adalah seorang yang “hanya memandang ke satu arah dan diam
di situ dalam jangka waktu yang lama” (meminjam istilah dari film “5 cm”) begitupun
halnya dengan kebahagiaan. Ketika sudah aku rasakan kebahagiaan dan kenyamanan
itu, meski dalam rasa sakit yang teramat sakit pun, aku enggan beranjak
darinya. Kebahagiaan buatku bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan atau
digantikan oleh sesuatu yang baru ketika rasa jenuh dan tak nyaman melanda.
Kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kita terima dan syukuri terlepas dari
segala keadaan yang tengah dihadapi. Ya, menerimanya meski dalam keadaan sakit
yang begitu sakit.
Entah, akan seperti apa
aku melaluinya. Pasti akan begitu sakit, teramat sakit bahkan untuk dapat
melangkah satu langkah ke depan. Ya, apa boleh buat. Ku kira kita masih
merasakan hal yang sama. Namun, nyatanya tidak. Aku yang merasakan sakit; dia
yang dapat senang dengan kebahagiaan dan tempat barunya.
30 Maret 2014
Tak pernah ku rasakan
sakit yang sesakit ini. Sulit untuk melepas bayang dan kenangan yang selama ini
ada dan tercipta. Setiap langkah yang ku buat untuk melupakan segalanya hanya
berakhir pada sakit yang begitu perih. Entah, apa dia juga merasakan hal yang
sama? Ku rasa tidak. Pada setiap kata yang terucap darinya, ku tafsir dia sudah
dapat dengan begitu mudahnya melepas dan melupakan semuanya. Tak apa, yang
penting sudah aku berikan semua ketulusan yang memang seharusnya aku berikan,
meski pada akhirnya itu jugalah yang tengah membunuhku secara perlahan.
1 April 2014
Kebahagiaan bersamanya
kini hanyalah berupa puing-puing kenangan bisu dan setumpuk foto-foto usang
yang sudah tak mampu bercerita lagi. Merindukannya sekarang hanyalah berupa angan
kosong yang tak akan pernah menjadi nyata. Setiap detik yang terlewati ketika
telah tidak bersamanya menjadi saksi untuk rasa sakit yang teramat ini. Raga ku
masih bisa disebut sehat – mampu berdiri tegak, berjalan, berlari, atau bahkan melompat.
Tapi tidak dengan batinku. Jauh di dalam hati ini, aku menangis, sebenarnya,
merasakan sakit yang entah harus dengan apa mengobatinya. Sering aku bertanya
“Apakah ini karena ketulusan yang benar-benar aku berikan padanya? Apakah ini
sebuah balasan terhadap ketulusan yang telah aku berikan sepenuhnya?”
Memang aku mencintai
dan menyayanginya sepenuh hati; jauh dari lubuk hati terdalam telah ku serahkan
semua padanya. Namun, tak selamanya rasa yang aku berikan ditanggapi dengan cara
yang sama pula. Buktinya, ya seperti inilah. Rasa sayang dan cinta yang sepenuh
hati diberikan pada akhirnya disalahartikan. Padahal, bukan tanpa alasan yang
jelas aku bertindak dan bertutur. Tapi, ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur, begitu
kata pepatah lama. Makan saja, toh
semangkuk bubur pun masih bernutrisi meski tak sebanyak nutrisi yang ada dalam
sepiring nasi.
Jauh dari dalam hati
ini aku bertanya “Apakah masih ada aku di dalam hatinya seperti apa yang selalu
aku rasakan? Apakah dia sudah benar-benar mengubur apa yang selama ini kita
impikan?” Entahlah, hanya dia dan Tuhan yang tau jawabnya. Aku hanya tak ingin
larut dalam harap yang tak bersambut. Jiwaku sakit, batinku tersiksa, namun apa
daya jika memang harap itu sudah tak bersambut. Mungkin, aku memang sudah
benar-benar tergantikan oleh sesuatu yang baru yang jauh lebih mampu
membahagiakannya. Namun, tetap aku berharap pada petunjuk-Nya yang pada
akhirnya benar-benar dapat membuatku sadar akan arti semua ini.