May 1, 2013

Mempertanyakan Perjalanan

Esensi yang ada dalam sebuah perjalanan ini tidak sesingkat seperti yang banyak orang katakan --- menghela napas, melakukan metabolisme rutin, dan berlarian mencari kepingan rupiah yang kelak ditimbun menjadi indikator sebuah kesuksesan perjalanan. Bukan, bukan timbunan kepingan rupiah yang jadi satu-satunya indikator kesuksesan sebuah perjalanan ini. Tapi, nyatanya, itulah yang banyak orang inginkan, dan memang benar kepingan itu pula yang mampu membuat perjalanan ini menjadi mulus. Tak ayal, kemanapun melangkah, kepingan itu menjadi sorotan utama setiap pelaku perjalanan. Lalu apakah dengan kepingan itu pula kita mendapatkan sebuah 'tanda penting' di mata para pelaku perjalanan lainnya? Sebegitu hebatkah?

Mungkin, sebagian mereka lupa esensi perjalanan yang tengah dijalaninya. Selain hanya menimbun kepingan tersebut, perjalanan kita haruslah memiliki nilai guna bagi pelaku perjalanan lainnya yang mungkin tidak bisa ditukar dengan kepingan yang kita miliki. Memiliki nilai guna, contonya, bukan hanya memberikan kepingan kita untuk kepentingan komunitas atau kelompok pelaku perjalanan saja tanpa melakukan tindakan nyata di dalamnya. Sama saja bohong jika hanya menyumbang keping-demi-keping berapapun banyaknya, karena kepingan tidak dapat menggantikan tindakan nyata yang kita lakukan. Sulit mungkin untuk merealisasikannya, tapi dengan adanya kesadaran dan kemauan dari dalam diri, hal sesulit apapun pasti bisa dilakukan. Berpartisipasi aktif dalam konstruksi kebaikan pastinya memiliki banyak dampak positif bagi kelangsungan perjalanan kita. Di samping membangun solidaritas dan hubungan sosial yang harmonis, dan mempertegas arti dari sebuah perjalanan, sisi religius kita - salah satu aspek penting dalam perjalanan - juga akan bertambah baik. Bukankah Ia menjadikan kita untuk bisa berguna dalam segi kebaikan? Dari sinilah, mungkin, perjalanan paripurna kepada-Nya akan bisa kita rasakan. 

Jika semua pelaku perjalanan bersaing untuk menimbun banyak kepingan saja, apakah itu bisa disebut paripurna? Nyatanya, persaingan menimbun itulah yang menjadikan banyak perpecahan diantara pelaku perjalanan, bahkan banyak yang melegalkan segala cara, sampai yang paling ekstrim sekalipun, guna memenangi persaingan tersebut, bukan begitu? Jika seperti ini, sama saja mereka dengan predator-predator di alam liar sana (instingnya). Bukankah kita adalah utusan yang harus membuat tempat di mana kita berjalan ini damai, tentram, dan indah? Bukankah Ia juga telah meyakinkan malaikat-malaikat-Nya ketika mereka meragukan fungsi kita diciptakan di sini? Jadi untuk apa kita dibekali akal budi jika insting kita tetap seperti predator alam liar?


Ratings and Recommendations by outbrain