Oct 18, 2013

Kepada-Nya

Tuhan, jika Engkau berkenan, izinkan aku untuk kembali merasakan bahagia itu. Izinkan untuk kembali mersakan indahnya seperti kala itu. Beri aku kesempatan untuk bisa mendapatkannya, sebelum pada akhirnya Kau ambil semua itu selamanya.

Kebahagiaan yang sederhana --- aku dan dia. Seperti sedia kala, kami merajut kasih yang seharusnya --- kasih yang suci itu.

Tuhan, apakah masih bisa aku dapatkan kebahagiaan itu? Aku hanya seorang insan yang tak miliki kuasa untuk merubah kehendak-Mu. Aku berserah pada-Mu. Hanya itu yang bisa seorang makhluk lakukan --- berserah dan berharap pada Khaliknya.

Tuhan, jika esok masih kau beri nikmat menghirup nafas, izinkan aku hanya untuk bisa merasa bahagia itu. Hanya itu harapku saat ini. Aku ingin kembali pada masa-masa itu, ketika bahagia senantiasa menaungi kami.

Tuhan, jika memang aku sudah tidak berhak atas bahagia itu, ambil semua yang tersisa. Ambilah, jangan yang ada yang tertinggal. Sekuat mungkin aku akan menerimanya. Itu kehendak-Mu.

Tuhan, aku hanya ingin merasakan kembali bahagia itu. Kebahagiaan saat kami menyelami dalam kehidupan dengan saling menutupi semua kekurangan yang ada. Kebahagiaan yang sederhana --- aku dan dia. Izinkan aku untuk merasakan kembali, meski hanya sekejap, sebelum pada akhirnya Kau menutup mata ini pun segala kenangan yang ada antara aku dan dia.

Aug 24, 2013

Gamang

Beberapa hari ini, meski sekilas sama, tapi terasa begitu berbeda, jauh berbeda seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu. Entah apa yang terjadi. Kesibukan menulis laporan penelitian (baca: skripsi) aku lakukan seperti biasanya, namun tidak ada gairah dalam menuangkan ide dalam rentetean kata pada monitor, pun dengan nas tulisan yang ku buat. Entah apa yang terjadi. Nyawaku seakan hilang. Untuk sekedar membaca buku, jurnal, dan karya ilmiah yang menggoda dan menggairahkan itu saja, diri tak bernafsu; apalagi untuk menulis. Entah apa yang terjadi. Dalam benak ku berkecamuk dia, keluarga, dan tumpukan-tumpukan bacaan yang harus segera diselesaikan. Padahal tenggang waktu sudah semakin dekat di hadapan pelupuk mata. Entah apa yang terjadi.

Aku hanya ingin kembali sediakala, seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu, di mana hasrat, inspirasi, dan ide menari, bergolak, menggerayangi diri, meningkatkan gairah bergelut dengan kata. Namun, tampaknya itu sulit untuk terulang lagi. Aku butuh ketenangan; namun di mana? Yang aku tahu ketenangan hakiki hanya ada di tempat-Nya. Haruskah aku ke tempat-Nya guna meraih ketenangan itu?

Dua-per-tiga malam telah lama aku tinggalkan. Padahal dulu di waktu tersebut aku bisa sedikit merasakan ketenangan untuk melampiaskan hasrat menulis ku. Sekarang, sulit tampaknya untuk terulang lagi. Semuanya berubah sejak dua purnama lalu. Entah harus bagaimana. Jiwa ini seakan hilang arah, lebih parah lagi, hilang jiwa.

Duduk dalam pandangan kosong menjadi sebuah keseharian, akhir-akhir ini. Apakah ini tanda agar aku kembali ke tempat-Nya? Padahal masih banyak impian dan tujuan yang harus direalisasikan. Apakah semuanya bisa terwujud dalam keadaan seperti ini? Seratus persen, bahkan seribu persen aku yakin tidak akan terwujud jika terus seperti ini.

Aku hanya ingin jiwaku kembali seperti pada bulan sebelum dua purnama lalu.

Dalam ketiadaan,

23 Agustus 2013 21.00 

Jul 3, 2013

Hilang

Di antara gelap dan sunyi-sunyi ini
Ku rebahkan diri dalam relung ketidakpastian
Sunyi terus mengisi membisiki diri
tentang sebuah angan yang berserakan tak karuan

Aku hilang jiwa
Aku hilang arah
Aku hilang kamu
Aku hilang Dia

Ke mana melangkah, aku tak tahu
Ke mana mengadu, apa Dia mau tahu
Ke mana bersandar, hanya ada ruang-ruang semu yang tak tentu

Jiwa berteman sunyi yang kian merasuk, berjejalan tak karuan
Bak tiada ruh yang isi raga ini
Untuk meratap, menangis pun hati enggan
Itulah diri saat ini terjejal sunyi

Aku butuh tangis, tapi batin tak bersambut.

May 1, 2013

Mempertanyakan Perjalanan

Esensi yang ada dalam sebuah perjalanan ini tidak sesingkat seperti yang banyak orang katakan --- menghela napas, melakukan metabolisme rutin, dan berlarian mencari kepingan rupiah yang kelak ditimbun menjadi indikator sebuah kesuksesan perjalanan. Bukan, bukan timbunan kepingan rupiah yang jadi satu-satunya indikator kesuksesan sebuah perjalanan ini. Tapi, nyatanya, itulah yang banyak orang inginkan, dan memang benar kepingan itu pula yang mampu membuat perjalanan ini menjadi mulus. Tak ayal, kemanapun melangkah, kepingan itu menjadi sorotan utama setiap pelaku perjalanan. Lalu apakah dengan kepingan itu pula kita mendapatkan sebuah 'tanda penting' di mata para pelaku perjalanan lainnya? Sebegitu hebatkah?

Mungkin, sebagian mereka lupa esensi perjalanan yang tengah dijalaninya. Selain hanya menimbun kepingan tersebut, perjalanan kita haruslah memiliki nilai guna bagi pelaku perjalanan lainnya yang mungkin tidak bisa ditukar dengan kepingan yang kita miliki. Memiliki nilai guna, contonya, bukan hanya memberikan kepingan kita untuk kepentingan komunitas atau kelompok pelaku perjalanan saja tanpa melakukan tindakan nyata di dalamnya. Sama saja bohong jika hanya menyumbang keping-demi-keping berapapun banyaknya, karena kepingan tidak dapat menggantikan tindakan nyata yang kita lakukan. Sulit mungkin untuk merealisasikannya, tapi dengan adanya kesadaran dan kemauan dari dalam diri, hal sesulit apapun pasti bisa dilakukan. Berpartisipasi aktif dalam konstruksi kebaikan pastinya memiliki banyak dampak positif bagi kelangsungan perjalanan kita. Di samping membangun solidaritas dan hubungan sosial yang harmonis, dan mempertegas arti dari sebuah perjalanan, sisi religius kita - salah satu aspek penting dalam perjalanan - juga akan bertambah baik. Bukankah Ia menjadikan kita untuk bisa berguna dalam segi kebaikan? Dari sinilah, mungkin, perjalanan paripurna kepada-Nya akan bisa kita rasakan. 

Jika semua pelaku perjalanan bersaing untuk menimbun banyak kepingan saja, apakah itu bisa disebut paripurna? Nyatanya, persaingan menimbun itulah yang menjadikan banyak perpecahan diantara pelaku perjalanan, bahkan banyak yang melegalkan segala cara, sampai yang paling ekstrim sekalipun, guna memenangi persaingan tersebut, bukan begitu? Jika seperti ini, sama saja mereka dengan predator-predator di alam liar sana (instingnya). Bukankah kita adalah utusan yang harus membuat tempat di mana kita berjalan ini damai, tentram, dan indah? Bukankah Ia juga telah meyakinkan malaikat-malaikat-Nya ketika mereka meragukan fungsi kita diciptakan di sini? Jadi untuk apa kita dibekali akal budi jika insting kita tetap seperti predator alam liar?


Ratings and Recommendations by outbrain