Jun 25, 2012

Maafkan Aku Pak

Usianya sudah mulai senja. Tidak muda dan sekuat dulu lagi memang. Apalagi, sekarang sakit mulai mendera badannya yang kian renta itu. Karena itulah, badannya yang dulu tegap dan kuat, kini mulai kurus dan terkulai lesu. Raut mukanya yang dulu segar, kini dihiasi oleh banyak garis-garis penanda ia sudah tua. Rambutnya yang dulu tebal, sekarang sudah mulai menipis -- berguguran seiring usianya yang sudah tidak muda lagi.

Pak, begitu sapaannya, kau memang sudah tidak sekuat dan sesehat dulu lagi. Harusnya, sudah waktunya untukmu beristirahat dan melihat tunas-tunas yang kau didik dan besarkan dengan keringat dan air mata membahagiakan mu, bukan malah tetap bekerja memeras keringat dan tenaga, bahkan merelakan batin mu tersisksa oleh pekerjaan yang kau geluti itu. Sangat disayangkan, waktu istirahat mu mungkin masih menjadi impian belaka. Nyatanya, tunas-tunas yang kau didik dengan cinta dan kasih yang tulus ikhlas itu belum bisa berbuat banyak untuk membahagiakan dan membalas jasa yang begitu besar telah kau berikan. Tunas-tunas mu masih saja kerap merepotkan dengan berbagai masalahnya, termasuk juga aku. Hal ini tentu saja, secara tidak langsung, memaksa mu untuk tetap bergelut dengan sesuatu yang sering kali menyiksa batin mu -- pekerjaan mu -- sehingga raut derita kerap terlihat dari wajah mu yang lelah itu.

Aku, sebagai tunas yang tertua, harusnya sudah mulai bisa membantu mu meringankan beban yang ada. Namun, aku merasa malu karena belum bisa memberikan apa-apa yang seharusnya aku berikan untuk membantu mu. Aku masih merengek dan meminta seperti halnya anak kecil. Padahal aku sadari hal itu tidaklah pantas lagi, sangat tidak pantas ku lakukan. Sebaliknya, aku yang mestinya bisa memberi sesuatu untuk mu supaya kau tidak perlu bersusah payah memeras tenaga dan pikiran untuk menghidupi kami. Jika dipikir aku ini balita dengan fisik dewasa, melihat kenyataan yang ada sekarang ini.

Aku juga bahkan terlalu egois akan keinginan dan cita-cita. Di saat dia mulai didera sakit, aku justru berkeinginan untuk meninggalkannya dengan berharap agar bisa mendapatkan beasiswa studi di luar negeri. Awalnya, dengan berharap bisa mendapatkan beasiswa semacam itu, aku bisa membantu memberikan apa yang seharusnya aku beri. Namun, setelah berpikir lebih jauh, akhirnya aku sadari bahwa hal itu adalah sebuah tindakan tolol. Aku lebih mementingkan ego diri sendiri, padahal ada yang lebih penting dan membutuhkan dari pada harapan ku itu, ialah keluarga dan orang-orang yang tulus mencintaiku yang telah membuat aku bisa berdiri seperti sekarang ini. Logikanya, aku tidaklah mungkin menjadi aku yang seperti ini tanpa mereka, namun dengan mudah aku ingin meninggalkan mereka demi satu keinginan itu. Egois kan?

Seiring dengan disibukkannya aku dengan tugas dan kegiatan kuliah, mereka -- keluargaku -- sering kali terlupakan. Menghubunginya saja jarang, mungkin satu atau dua kali sehari, itu pun hanya lewat SMS saja. Dari sinilah aku sadari bahwa aku terlalu larut dalam duniaku sendiri. Tak ku sadari bahwa ada mereka yang juga membutuhkan ku.

Pak, maafkan aku yang masih saja merepotkan mu dengan segala masalah ku.


Ratings and Recommendations by outbrain